RIAUANTARA |PEKANBARU, - Persoalan hukum yang bergulir di lahan HGU milik PTPN 5 yang berlokasi di dua wilayah hukum yang berbeda, harus dikaji sedalam mungkin mengingat locus perkara tidak berada pada wilayah hukum yang membuat keputusan.
Artinya keputusan pengadilan mengatakan eksekusi tersebut datang dari luar locus perkara.
"Ini cukup rawan, jika dipaksakan harus melakukan eksekusi di lapangan. Kami dari politisi PDIP berharap kepada pihak penegak hukum agar benar-benar mempertimbangkan tindakan hukum yang akan dilakukan," kata Ruslan Tarigan, politisi PDIP DPRD Kota Pekanbaru terkait persoalan yang terjadi di atas lahan sekira 2.800 Ha tersebut.
Beberapa waktu lalu dia mengatakan, sebagaimana kebenaran fakta lapangan bahwa lahan 2.800 yang dipersengketakan itu sepenuhnya berada di Desa Kabun wilayah Kabupaten Rokan Hulu.
Untuk itulah pihak PTPN V melalui pihak ketiga melakukan perlawanan hukum melalui dua PN yang ada di kedua wilayah hukum tersebut. Yakni PN Bangkinang dan PN Rokan Hulu. Sebab lokasi perkara yang dihadapi PTPN V memang berada di dua wilayah hukum yang berbeda itu.
Dari sudut pandang locus perkara itu saja menjadi kurang tepat kalau PN Bangkinang yang akan melakukan eksekusi.
Barangkali hal inilah jualah yang mendasari munculnya permintaan dari pihak KLHK pusat dan Kementerian BUMN, meminta agar pihak eksekutor menunda eksekusi dimaksud.
"Pihak yang akan mengeksekusi harus benar-benar mempertimbangkan persoalan yang bakal terjadi dilapangan itu".
Dan jika toh akan dipaksakan maka kemungkinan besar akan terjadi penolakan dari para karyawan yang ada di sana. Sehingga kita berharap jangan sampai terjadi bentrok physik horizontal yang dapat memperkeruh suasana, dan juga menambah persoalan dengan timbulnya masalah baru.
"Untuk itulah kami sebagai wakil rakyat terpanggil mengimbau kepada para pihak agar kembali ke meja perundingan mencari solusi yang terbaik tanpa harus mencederai hukum. Sebab kita tahu sejak awal kehadiran PTPN V disana lahan tersebut masih hutan belantara.
Menurut masyarakat di sana mengakui awal kehadiran PTPN V tidak ada menemukan tanda-tanda sudah ada HTI di sana. Sehingga kala itu antara Ninik Mamak selaku pucuk adat di desa tersebut bersepakat dalam bermitra, dengan PTPN V Riau guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sei Batu Langkah.
Bentuk kerjasama yakni dengan pola KKPA, sebagaimana diketahui secara luas pola itu juga dilakukan oleh berbagai perusahaan besar swasta di berbagai wilayah di Riau.
Artinya bentuk kerjasama tersebut bukan saja hanya dilakukan oleh PTPN V, namun berbagai perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit juga melakukan hal yang sama. Sehingga sejak awal pembangunan itu tidak ada permasalahan dengan masyarakat tempatan.
Namun belakangan setelah sawit meninggi baru muncul gejolak. Tentu saja ada aktor dibelakang layar yang mengatasnamakan rakyat pula.
Sehingga persoalan ini harus ditelusuri secara mendalam, sebab sudah barang tentu akan ada pihak-pihak yang akan menangguk di air keruh tersebut.
Demikian juga kepada perusahaan HTI yang mengklaim ada bagian lahannya disana, tentu perlu pengkajian mendalam pula. Apakah memang luas HTI tersebut sudah sesuai fakta hukum di lapangan. Dan kalau perlu pemerintah juga diminta melakukan audit lapangan yakni pengukuran ulang secara menyeluruh di lapangan.
"Ini saran kami, dan kami mendukung sepenuhnya langkah PTPN V dalam mempertahankan lahan 2.800 Ha tersebut. Sebab kami tahu sejak awal kehadiran perusahaan BUMN itu di Riau, telah terbukti membawa peningkatan kesejehteraan masyarakat luas.
Tidak saja kepada belasan ribu karyawan di bawah panji PTPN V Riau, tapi juga berperan aktif mengangkat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di berbagai lini kehidupan masyarakat Riau. Baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya,"ucap dia. (MC Riau)
Reporter : Tommy
Publis : M.Kahfi
Komentar