OLEH SULTHAN ALFARABY, Pegiat Diskusi dan Sosial di Aceh.
RIAUANTARA.CO | ACEH, - BERBICARA di depan umum mungkin merupakan 'momok' yang menakutkan bagi sebagian orang. Gejala ketakutan kerap dialami ketika seseorang melihat wajah-wajah baru di tengah keramaian atau tidak dikenalinya. Berbeda halnya jika kita berbicara di depan sahabat dekat atau keluarga kita. Tentunya, kita merasa lebih berani, bukan?
Mari kita melirik sejenak, bahwa ketakutan berbicara di depan umum ternyata disebut-sebut sebagai "Glossophobia". Glossophobia ini mungkin sering dialami oleh remaja, yang dimana hal ini berpengaruh terhadap efektifitas pembelajarannya di instansi pendidikan. Misalnya, ketika diperintahkan oleh tenaga pengajar/guru untuk maju dan menjelaskan hasil pembelajaran individu kepada teman-teman yang lainnya. Belum maju, mungkin sudah kencing di dalam celana? Hehehe. Just kidding!
Glossophobia
Diketahui bahwa glossophobia ini seperti yang disampaikan oleh Anxiet Disorders Association of Canada dalam Werhadiantiwi (2014) bahwa glossophobia ini adalah phobia sosial. Phobia ini membuat si penderita punya sifat takut terhadap kondisi di ranah sosial. Sehingga, hal ini bisa menciptakan problem di ranah sekolah maupun kehidupan sosial.
Bahkan, Association of Canada dalam Werhadiantiwi (2014) juga menyampaikan bahwa rasa takut ketika berbicara di hadapan publik ini timbul akibat pikiran bawah sadar yang mengontrol kesadaran serta beranggapan bahwa suasana di ruang lingkup sosial itu adalah sebuah ancaman. Hal ini membuat orang tersebut segera menanggapinya dengan cara melawannya atau menghindarinya.
Pengalaman Mengidap Glossophobia
Berbicara tentang Glossophobia ini, penulis juga pernah mengalaminya saat masa remaja. Yang dimana penulis saat itu duduk di bangku sekolah. Hal ini membuat kondisi psikis penulis menjadi tertekan ketika setiap kali hendak berhadapan dengan khalayak ramai atau orang-orang baru di tengah keramaian. Ternyata, hal ini juga membuat konsentrasi belajar menjadi terganggu. Dikarenakan, setiap tugas presentasi yang diberikan, penulis selalu menyampaikan dengan kondisi ketakutan dan 'gagap'. Belum lagi, ketika gagal maka akan dibully oleh teman sebaya pada saat itu. Kondisi ini tentu membahayakan bagi sebagian besar orang karena menimbulkan rasa yang tidak nyaman ketika berhadapan orang lain di ruang lingkup sosial. Apalagi, kemajuan zaman yang semakin pesat ini, maka kita tentunya semakin dituntut untuk berani berbicara di depan umum.
Seperti yang diuraikan oleh Wallechinsky dalam Fatma (2012), bahwa berbicara di depan umum itu adalah salah satu momok paling menakutkan bagi manusia. Berdasarkan hal itu, maka bisa dikatakan bahwa glossophobia ini tentu dapat menjangkiti semua orang. Bahkan, juga siswa-siswi. Wallechinsky dalam Fatma (2012) juga menyampaikan bahwa jika masalah ini tak dipecahkan maka bisa membuat sesuatu hal yang fatal teruntuk siswa. Hal ini ketika siswa merasakan sulitnya berbicara atau menyampaikan sesuatu yang diinginkan atau pemikiran yang dipunya, maka progres siswa itu akan terusik. Dalam hal ini, sekolah mempunyai solusi untuk mengurangi ketakutan berbicara di depan umum yang dialami siswanya. Misalnya seperti melempar sebuah soal/pertanyaan, memerintahkan siswa yang selalu diam untuk berbicara/menjelaskan, memberi tugas kelompok atau presentasi hingga memberikan motivasi kepada para siswa.
Berdasarkan hal di atas itu, maka dapat diketahui bahwa phobia ini dapat mengganggu kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Karena pada dasarnya, manusia itu pasti butuh orang lain. Walaupun kita sudah diberikan motivasi agar berani berbicara di depan umum, namun bagi penulis hal itu bukanlah satu-satunya solusi yang bisa kita terapkan. Cara agar menjadi berani berbicara di depan umum adalah dimulai dari diri kita sendiri. Karena tanpa adanya komitmen dari kita, maka tentu ini sangatlah sulit. Bahkan, orang lain tidak akan mampu merubah diri kita. Lalu, bagaimana cara kita mampu merubah pemikiran "takut akan sosial" itu hingga sukses berbicara di depan belasan, puluhan, ratusan bahkan ribuan orang sekalipun tanpa rasa cemas di hati?
Pengalaman Mengatasi Glossophobia
Saat masa kuliah, sekitar tahun 2017, penulis selalu menjadi bulan-bulanan teman sejawat karena penulis tak berani berbicara di depan umum. Bahkan, yang mengolok-ngolok penulis sangatlah jago dalam berbicara di depan umum. Mulai dari intonasi, gerak-gerik bahkan pemikiran yang disampaikan semuanya sejalan dan membuat audiens selalu bertepuk tangan. Penulis menjadi termotivasi dan ingin belajar menjadi berani. Oleh sebab itulah, penulis termotivasi dan mulai mencari berbagai event diskusi publik atau seminar agar penulis bisa menuangkan ide atau gagasan di dalam forum tersebut.
Anggap saja ada sebuah seminar bertema "kemiskinan", maka penulis dari jauh-jauh hari sudah menyiapkan bahan-bahan yang akan disampaikan nanti dalam forum itu ketika sesi tanya-jawab nantinya. Jika temanya tentang "kemiskinan", maka kita harus mencari referensi, minimal kenapa timbul kemiskinan, apa solusi mengentaskan kemiskinan dan sudah tepatkan solusi itu untuk memberantas kemiskinan? Begitulah sekiranya penulis membuat persiapan. Hingga pada saat acara dimulai, penulis menyimak dengan teliti, dan mencari-cari 'kesalahan' pembicara/narasumber dengan tujuan untuk menemukan celah agar penulis bisa 'skakmat' nantinya saat sesi tanya-jawab.
Ketika sesi tanya-jawab dibuka, maka penulis berusaha paling cepat untuk mengangkat tangan dan memberitahukan kepada moderator bahwa penulis ingin bertanya. Meskipun jiwa takut itu masih hinggap dalam hati, namun penulis terus berusaha melawannya. Ketika moderator memberikan microphone kepada penulis untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan, maka tangan penulis menjadi bergetar atau disebut dengan "tremor". Hal ini biasa bagi sebagian orang yang mungkin tidak pernah berbicara atau takut berbicara di depan umum. Namun, hal itu hanya terjadi selama 20 detik saja, kok. Percayalah. Selebihnya, akan ada semacam "keberanian lebih" jika kita mampu menahan takut itu selama 20 detik. Ini berdasarkan pengalaman penulis yang mengikuti ratusan kegiatan seminar/diskusi publik selama menjadi mahasiswa. Ketika kita sudah melampaui durasi takut itu, maka nantinya kita akan menjadi terbiasa untuk berbicara di depan umum dan bahkan akan menjadikan itu sebagai fenomena yang mengasyikkan serta ketagihan. Tidak usah pakai gerak-gerik atau mimik muka, yang terpenting adalah kita sudah berani saja maka itu sudah cukup. Kedepan, barulah kita mulai memainkan gerak-gerik tangan atau mimik muka jika kita sudah terbiasa berbicara di depan umum. Sering-seringlah melihat orang yang jago "public speaking" atau para pembicara dan sering-seringlah bertanya di berbagai seminar. Hal itu akan menjadikan kita semakin termotivasi kedepannya.
Kita tentunya harus yakin, bahwa untuk mengubah diri kita sendiri haruslah ada campur tangan dari kita sendiri dan orang lain tidak akan mampu merubah kita jika kita tidak mengizinkan. Jika kita ingin berani, maka lawanlah rasa takut itu dan paksa dia untuk tunduk kepada keberanian. Setiap orang tentu memiliki rasa takut, itu semua tergantung bagaimana kita mengendalikannya. Nyan ban!
Media Sosial Penulis:
Instagram: @sulthan_alfaraby
Twitter: @than_alfaraby
Whatsapp: 0813-1531-5556
Komentar