Hal ini terungkap dalam diskusi bedah AD/ART IKA Unri yang dilakukan Forum Peduli IKA UNRI, Kamis malam (3/6/2021) di Pekanbaru. Dalam diskusi itu dihadirkan pakar kebijakan publik, Dr. Morris Adidiyogia, yang mengungkap banyak kejanggalan yang dilakukan panitia kongres.
"Panitia Kongres IKA Unri, khususnya Steering Commitee (SC) yang menyusun Tata Tertib pemilihan calon ketua umum dan persidangan telah membuat aturan yang tidak mengacu pada AD/ART sebagai konstitusi tertinggi organisasi. Misalnya saja soal pendafataran calon ketua umum, panitia membuat aturan harus didukung oleh minimal tiga IKA Fakultas, ternyata di AD/ART tidak ada aturan soal ini. Lah, kok bisa-bisanya buat persyaratan seperti ini," tegas Morris.
Menurutnya, jika mengacu pada pada pasal 3 ART, disebutkan bahwa setiap alumni punya hak untuk memilih dan dipilih. Artinya, bahwa siapa pun alumni yang merasa mampu, silahkan untuk maju. "Jadi bisa dikatakan, pendaftaran calon yang dibuat oleh panitia tak sah dan tidak berlaku," ujarnya.
Jika mekanisme pencalonan tidak diatur dalam AD/ART, maka mekanismenya harus berdasarkan kesepakatan peserta kongres. Dengan kata lain, nanti saat pembahasan Tatib dalam sidang kongres lah baru ditentukan bagaimana tata cara pendaftaran calon ketua umum IKA Unri.
Selain soal syarat dan pendaftaran calon, pelanggaran lain yang dilakukan panitia sejauh ini adalah soal peserta kongres. Menurut Morris, pada pasal 34 ART disebutkan bahwa peserta kongres adalah utusan dari IKA Fakultas masing-masing sebanyak 5 orang dan anggota Pleno Pengurus Pusat IKA Unri. Pada pasal 8 ayat 5 dijelaskan bahwa Pleno pengurus pusat terdiri dari pengurus pusat, pelaksana harian, Dewan Penasehat, dan Dewan Pertimbangan alumni. Para peserta ini memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan.
"Sementara dalam keterangan yang disampaikan panitia, bahwa pada pemilihan ketua umum hanya 15 orang yang memiliki hak suara atau hak pilih. Ini lagi-lagi mengangkangi AD/ART namanya," ujarnya.
Morris mencurigai ada upaya sekelompok orang di Steering Commite yang memang mensetting agar Kongres berlangsung sesuai skenario untuk mendudukkan seseorang menjadi ketua. "Ini adalah cara-cara kotor yang menurut saya tidak pantas dilakukan di organisasi bermarwah dan bermartabat seperti IKA Unri ini," ujar alumni Fisipol tersebut.
Hal senada juga disampaikan Alzam Deri, alumni Unri yang pernah menjadi Ketua KPU Sijunjung dua periode. Kongres IKA Unri yang akan dilaksanakan tanggal 5 Juni besok sarat dengan kejanggalan dan masalah. Keterlibatan alumni dalam memilih calon ketua umum sangat dibatasi dan ini akan membuat legitimasi ketua terpilih sangat rendah.
"Kalau kita melihat AD/ART pada pasal 3 dijelaskan bahwa semua alumni memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Di sini semangatnya jelas, menjunjung tinggi demokratisasi dimana semua alumni harusnya diberi kesempatan untuk ikut memilih atau one man one vote. Masak negara saja yang rakyatnya ratusan juta bisa melaksanakan pesta demokrasi, tapi ikatan alumni yang hanya belasan ribu, tapi pemilihnya hanya belasan orang," sesalnya.
Deri juga sepakat agar Kongres ini ditunda pelaksanaannya, apalagi diketahui banyak kebijakan panitia yang bertentangan dengan AD/ART. "Kalau mau silaturahmi akbar, webinar, silahkan saja sebagai rangkaian kegiatan Kongres, tapi untuk agenda kongres sendiri harus ditunda dan dikembalikan kepada aturan tertinggi AD/ART," tegasnya.
Dari hasil diskusi ini, Forum Peduli IKA Unri menyatakan akan terus berjuang agar Kongres ini ditunda. "Besok kami akan menemui Rektor dan menyampaikan hasil diskusi malam ini. Kita akan terus berjuang agar kongres benar-benar dilakukan sesuai dengan AD/ART sebagai konstitusi tertinggi organisasi sehingga hasilnya adalah terbentuk kepengurusan yang legitimate, bukan pengurus abal-abal," kata Welly Indramayu, selaku Koordinator Forum Peduli IKA Unri.**Ril
Komentar