ilustrasi: Larangan merokok |
Riauantara.co |Pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang mencakup pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau. Sayangnya, pelaku usaha dan pekerja di media serta industri kreatif belum dilibatkan dalam proses ini. Menurut Guruh Riyanto, Koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), pihaknya belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyusunan aturan ini, meski dampaknya bisa sangat besar bagi 725 ribu pekerja di sektor tersebut.
Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), M Rafiq, mengkritik keras kebijakan ini, menyatakan bahwa pemerintah mengabaikan suara industri periklanan dan kreatif. Ia mengingatkan bahwa iklan rokok, yang sudah diatur ketat oleh regulasi sebelumnya, merupakan sumber pendapatan utama bagi media. Dengan pembatasan ini, diperkirakan industri bisa kehilangan pendapatan hingga Rp 9 triliun, yang tentu akan mempengaruhi kualitas konten dan keberlangsungan usaha media.
Gilang Iskandar, Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), menambahkan bahwa iklan rokok memberikan kontribusi besar bagi pendapatan iklan televisi. Tanpa dukungan ini, kualitas siaran dan kemampuan media untuk mempekerjakan karyawan akan terancam. Selain itu, Emil Mahyudin, Sekjen Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), menegaskan bahwa banyak event musik yang bergantung pada sponsor dari industri tembakau. Kehilangan sponsor ini bisa memperparah kondisi industri yang baru mulai pulih dari dampak pandemi COVID-19.
RPP Kesehatan ini tidak hanya berpotensi memukul sektor media dan periklanan, tetapi juga industri kreatif lainnya seperti musik dan acara. Dengan demikian, partisipasi dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam perumusan aturan sangat penting untuk menjaga keberlangsungan industri ini.
sumber : ril
editor : AB
Komentar