PPN Naik Jadi 12%, Ancaman Baru bagi Konsumen dan Pelaku Usaha | riauantara.co
|
Menu Close Menu

PPN Naik Jadi 12%, Ancaman Baru bagi Konsumen dan Pelaku Usaha

Jumat, 29 November 2024 | 11:54 WIB


Jakarta, riauantara.co | Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 menuai gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama pelaku usaha di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Meski Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, mengisyaratkan kemungkinan penundaan kebijakan tersebut, banyak pihak tetap khawatir dampaknya terhadap perekonomian.

Direktur Eksekutif Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), Ardiman Pribadi, menilai kebijakan ini akan menjadi beban berat bagi konsumen. Menurutnya, meskipun secara nominal PPN saat ini sebesar 11%, efek berantai pada rantai produksi menjadikan beban konsumen akhir mencapai hampir 20%.

"Jika PPN dinaikkan menjadi 12%, beban konsumen akhir akan meningkat menjadi 21,6% dari harga barang sebenarnya. Ini sangat membebani, terutama saat daya beli masyarakat sedang turun," jelas Ardiman, seperti di lansir dari cnbcindonesia.com.

Ardiman menambahkan bahwa kenaikan PPN dapat menurunkan konsumsi tekstil secara signifikan. Hal ini dikhawatirkan justru akan berimbas pada penurunan penerimaan negara dari sektor ini.

"Ketika konsumsi turun, penjualan tekstil ikut merosot. Jadi, target pemerintah untuk meningkatkan pendapatan justru akan berbalik menjadi kontra produktif," ujarnya.

Senada dengan Ardiman, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebut kenaikan PPN akan menjadi bumerang bagi pemerintah.

"Konsumen akan menahan pembelian akibat kenaikan harga. Akibatnya, volume penjualan barang menurun drastis, sehingga penerimaan negara pun berkurang," tegasnya.

Selain memprotes kebijakan PPN, Ardiman juga menyerukan pemerintah untuk fokus pada pemberantasan impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Menurutnya, impor ilegal menjadi salah satu penyebab utama hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor tekstil.

"Selama lima tahun terakhir, negara kehilangan potensi penerimaan sekitar Rp46 triliun akibat impor ilegal. Jika masalah ini ditangani, penerimaan negara bisa meningkat hingga Rp9 triliun per tahun tanpa harus menaikkan PPN," ungkapnya.

Ardiman meyakini bahwa pemberantasan impor ilegal juga akan memberikan dampak positif pada industri tekstil dalam negeri. 

"Pabrik-pabrik tekstil akan kembali meningkatkan produksi, membuka lapangan kerja baru, dan mendorong daya beli masyarakat. Dengan demikian, pendapatan negara dari PPN akan meningkat secara alami," pungkasnya.

Dengan kondisi ekonomi yang masih rentan, pemerintah dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, upaya meningkatkan penerimaan negara sangat penting untuk menopang pembangunan. Namun, di sisi lain, kebijakan fiskal yang kurang tepat bisa menimbulkan efek domino yang merugikan pelaku usaha dan masyarakat luas.

Industri tekstil, yang sudah menghadapi tekanan dari berbagai sisi, berharap pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan, terutama dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat saat ini. Apakah kebijakan ini benar-benar akan diterapkan atau ditunda, waktu yang akan menjawab.

(kmo/rd)
Bagikan:

Komentar