Lolya Saputra Siregar (41), pasien yang mengalami sesak napas, akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di RSI Ibnu Sina pada Rabu (25/12). |
Pekanbaru, riauantara.co | Pekanbaru kembali dikejutkan dengan kisah memilukan di dunia pelayanan kesehatan. Lolya Saputra Siregar (41), pasien yang mengalami sesak napas, akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di RSI Ibnu Sina pada Rabu (25/12). Kejadian ini menyisakan kekecewaan mendalam bagi keluarga pasien terhadap lambannya pelayanan medis di IGD Rumah Sakit Daerah (RSD) Madani.
Kasus ini bermula pada Sabtu (14/12) lalu, ketika Lolya dilarikan ke IGD RSD Madani akibat sesak napas sekitar pukul 14.00 WIB. Namun, keputusan untuk merujuk pasien ke RSI Ibnu Sina baru diambil delapan jam kemudian, yaitu sekitar pukul 22.30 WIB.
Penundaan yang signifikan ini menjadi sorotan utama, terutama ketika keluarga pasien menyebut bahwa kondisi Lolya semakin memburuk karena lambatnya tindakan medis.
Plh Direktur RSD Madani, dr. Dedy Khairul Ray, membantah tudingan tersebut dengan alasan bahwa pihaknya sudah bekerja sesuai prosedur operasional standar (SOP).
Ia menjelaskan bahwa tindakan medis seperti pemeriksaan fisik, rontgen, dan laboratorium telah dilakukan untuk menstabilkan kondisi pasien.
Namun, alasan ini dirasa tidak cukup oleh keluarga korban. Mereka mempertanyakan apakah prosedur yang diterapkan benar-benar memperhitungkan urgensi kondisi pasien, terutama untuk kasus sesak napas yang membutuhkan tindakan cepat dan tepat.
Alasan lain yang dikemukakan adalah aturan rujukan yang "terkesan lama". Pernyataan ini justru membuka masalah lain dalam sistem pelayanan kesehatan, yakni birokrasi yang berbelit-belit dalam proses rujukan. Padahal, dalam situasi darurat, waktu adalah faktor krusial yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Kematian Lolya Saputra Siregar harus menjadi pengingat keras bagi pihak terkait, terutama pemerintah daerah dan pengelola rumah sakit, bahwa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pelayanan kesehatan. Kasus ini tidak hanya mencerminkan lemahnya koordinasi antarinstansi, tetapi juga menunjukkan minimnya empati dalam menangani pasien.
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat, efektif, dan manusiawi. Tragedi ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Nyawa manusia terlalu berharga untuk dikorbankan akibat kelalaian dan sistem yang tidak berjalan semestinya.
Keluarga pasien mengabarkan awak media sekira pukul 20.00 WIB, Kamis (25/12) dan menyampaikan berita duka.
"Pak, keluarga kami Lolya Saputra Siregar (41) pasien sesak nafas kemarin wafat," ujar salah satu keluarga yang enggan menyebutkan namanya kepada awak media.
Pasien menjalani perawatan di RSI Ibnu Sina setelah dirujuk RSD Madani sejak Sabtu (14/12) malam hingga malam ini Rabu (25/12). Jenazah akan di bawa pulang ke rumahnya malam ini juga setelah melalui proses pelepasan dari pihak RSI Ibnu Sina, tandasnya.
Keluarga Lolya telah kehilangan orang tercinta mereka, dan publik kehilangan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan. Kini, bola berada di tangan pemerintah dan pihak rumah sakit untuk menjawab kekecewaan ini dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji perbaikan. Apakah mereka akan bergerak? Ataukah kita akan terus mendengar cerita serupa di masa mendatang?
Komentar